Nah, lantas bagaimana dengan pernikahan? Menjalani hidup bersama orang yang tidak kita kenal sebelumnya. Berharap bisa sampai akhir hayat pula. Apakah mungkin jika tanpa pembelajaran dulu sebelumnya? Aku berani katakan, tidak akan mungkin. Tapi apakah ada manusia yang memutuskan menikah tanpa belajar? Tentu saja ada, mungkin banyak. Aku sudah menemukan beberapa kasusnya meski hanya dari lingkungan terdekatku.
Kita pasti sering membaca berita dan melihat tayangan di TV, ya, sebut saja infotainment. Ada berapa banyak kasus artis yang bercerai padahal baru saja menikah beberapa bulan atau tahun lamanya. Banyak bukan? Dengan alasan tidak ada lagi kecocokan di dalam hubungan. Ya, itulah yang selalu kita dengar. "Ketidakcocokan" yang sebenarnya bisa jadi adalah masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, tidak mampu mengelola emosi, tidak ada komunikasi yang baik dan lain sebagainya, kamu bisa sebutkan.
Namun sejatinya, mengapa perceraian bisa terjadi? Padahal sebelum menikah, pasangan-pasangan tersebut sudah amat yakin satu sama lain, berani berkomitmen, menyadari kekurangan satu sama lain, mau melangkah dan hidup bersama apapun suka dukanya. Ada banyak alasan dari terjadinya perceraian, aku ingin sebutkan tiga hal yaitu, pola pikir a.k.a mindset, ekspektasi dan komunikasi.
Sedikit kilas balik.
Di akhir tahun 2019 aku dihadapkan pada dua pilihan hidup, mau bekerja atau melanjutkan kuliah? Ayahku ingin sekali anaknya bekerja dan segera berpenghasilan, sementara ibuku menginginkan hal yang sama namun beliau juga ingin aku melanjutkan kuliah, agar semakin pintar katanya. Sementara aku, rasanya aku tak punya alasan untuk tidak kuliah, karena aku pun bercita-cita untuk menjadi ibu yang cerdas kelak. Setelah berpikir panjang, aku putuskan untuk lanjut kuliah sambil bekerja. Awalnya aku ingin melanjutkan studi pada jurusan Psikologi Terapan di Universitas Indonesia, namun setelah mengumpulkan banyak informasi ternyata peminatan Psikologi Keluarga dan Kesehatan Anak yang ingin aku pilih sudah tidak ada lagi di sana.
Gayung bersambut, aku dapat informasi dari kakak tingkatku ketika S1 tentang jurusan Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak di IPB. Ah sangat menarik! Aku harus daftar! Tanpa berpikir panjang lagi, setelah aku melihat silabus perkuliahannya di website, aku langsung sampaikan pada orang tuaku untuk lanjut di jurusan IKA ini. Kenapa jurusan ini yang kupilih? Niat awalku sederhana, aku hanya ingin belajar untuk bekalku menikah dan berkeluarga kelak. Aku ingin mempelajari sesuatu yang memang dapat aku aplikasikan langsung, 100% dalam hidupku. Tapi, ternyata setelah hampir 2 bulan aku merasakan kuliah, tujuanku kian bertambah banyak. Keilmuan di magister ini bukan hanya untukku seorang, ada banyak orang tua, pasutri dan keluarga di luar sana yang juga membutuhkannya. Ya, aku ingin menjadi edukator dan konsultan untuk keluarga dan anak. Kelihatannya akan sangat dibutuhkan.
Oh ya, kalau kamu ingin tahu apa saja yang sedang aku pelajari saat ini, kamu bisa lihat pada postingan instagramku di sini ya :)
Kembali pada pembahasan awal.
Pola pikir sekaligus sudut pandang adalah pondasi awal dari segala sesuatu, ketika pola pikir kita salah maka seterusnya apa yang kita pelajari, lakukan, amalkan akan jadi keliru, negatif atau salah. Lantas sekarang, bagaimana kamu memandang sebuah pernikahan? Apakah menikah = selamanya berbahagia? Apakah menikah = selamanya jatuh cinta dan berbunga-bunga? Jika iya jawabannya, maka kamu perlu untuk sedikit saja mengubah pola pikir. Yup, betul, dengan menikah memang kita akan mendapatkan kebahagiaan, menikah adalah ibadah, kita hidup bersama dengan orang yang kita pilih dan seharusnya kita cintai. Bahagia tentu saja akan ada banyak di dalamnya. Tapi, tidak sepanjang hayat dalam pernikahan hanya diisi dengan bersenang-senang. Akan ada banyak asam garam, lika-liku, ujian dan perjuangan yang harus dihadapi oleh sepasang suami istri. Bisa jadi kita akan menangis, kesal, bertengkar, beradu mulut dan lain sebagainya. Apakah sudah ada itu di benak kita? Kalau belum, bayangkan saja dulu. Agar kita siap untuk menghadapinya kelak.
Pola pikir ini berhubungan erat dengan ekspektasi. Banyak orang yang bilang bahwa jika kita mampu berekspektasi tinggi maka kita harus siap dibuat kecewa. Benarkah demikian? Ya, aku rasa memang ada benarnya. Lalu, apakah berarti kita tidak boleh berkspektasi? Nah, tugas kita kelak di dalam pernikahan adalah mengelola ekpspektasi tersebut atau boleh aku katakan ekpspektasi sama dengan menaruh harapan. Jika kita sudah memasang harapan yang tinggi, itu berarti kita pun harus berusaha jauh lebih besar lagi. Di dalam buku Design Your Hope karya Andra Donatta, dituliskan bahwa syarat dari membuat harapan ada tiga hal, yaitu..
- Meyakini akan masa depan yang lebih baik
- Memiliki rasa berdaya atau kemampuan
- Mengantisipasi hal yang akan terjadi di masa depan
Makasih banyak Kak Saskii, meski masih jauh tapi jadi semangat mempersiapkan diri 🥰🥰🥰
BalasHapusAlhamdulillaah, sama-sama semangat selalu🥰💪
HapusNHL Mock Draft 2019 - NCAAF Bets, Predictions, Previews, Parlays starvegad starvegad 우리카지노 우리카지노 3762No Wagering Casino | Thakasino
BalasHapus