2



Beberapa hari yang lalu, aku melakukan survey kecil-kecilan melalui Instagram dan WhatsApp. Aku meminta masukan dari teman-teman followers mengenai tema buku apa yang mereka inginkan untuk aku tuliskan selanjutnya. Setelah aku kerucutkan dari respon mereka, rupanya ada tiga permintaan besar yang paling banyak disebut. Aku sebutkan salah satunya saja ya, yaitu tentang hijrah yang sesungguhnya. Wih, berat tuh. Serius.

Bagiku, menulis berhubungan erat dengan tanggung jawab. Ketika aku menulis tentang hijrah, setidaknya aku pun sedang melakukan perjalanan hijrah tersebut. Mudah saja untuk menuliskan apa yang sebenarnya tidak kita lakukan. Tapi, aku takut. Pertanggungjawabanku kelak akan lebih berat.

Maka, ketika permintaan tulisan tentang hijrah merajalela, aku terus berpikir dan berpikir. Apakah aku pantas menuliskan konten ini? Bahkan aku rasa sudah cukup banyak buku bertebaran di luar sana yang membahas tentang motivasi hijrah. Tapi permintaan pada diriku ternyata tetap saja tinggi, dengan alasan bahwa permasalahan hijrah harus, kudu, wajib dibahas secara esensi, bukan sekadar hijrah casing aja. Begitu kata netizen.

Baiklah, sebelum aku menulis buku. Izinkan aku melakukan pemanasan dulu dengan bercerita tentang hijrah melalui artikel blog ini ya.

***
Kata orang-orang hijrah itu mudah, yang sulit istiqomahnya. Masa sih begitu? Aku mencoba membuktikan pernyataan tersebut di tahun 2014 silam. Sebelum 2014, aku memang telah mengenakan hijab sejak pertama kali mengalami menstruasi di kelas 2 SMP. Beruntungnya, orang tuaku telah berpesan jauh hari bahwa ketika seorang perempuan mengalami menstruasi maka saat itulah dosanya telah dicatat, auratnya perlu dilindungi. Tidak sulit bagi akal dan hatiku untuk menerima hal tersebut. Hanya saja, dulu aku berhijab dengan seadanya. Belum menutup secara sempurna.

Seiring berjalannya waktu, bertambah usia dan berkembangnya pola pikirku, di bangku SMA aku mulai merasa “tidak pantas” lagi untuk berpakaian seperti saat itu. Aku rasa harus ada bagian yang diperbaiki. Belum berpikir jauh pada kualitas dan kuantitas ibadah, apalagi manajemen hati. Yang aku pikirkan hanyalah memperbaiki penampilan alias casing. Entahlah, ternyata aku membuktikan bahwa keinginan hijrah seringkali pada awalnya dimulai dari merubah pakaian (perempuan).

Seketika saja pakaianku berubah, tapi aku tidak nyaman. Duh, memulai sesuatu yang baru memang selalu terasa berat. Aku mulai meninggalkan celana-celanaku, menggantinya dengan rok. Baju-baju potonganku, aku ganti dengan dress. Hijab-hijab pendekku, aku tukar dengan hijab yang menutupi dada hingga perut. Apakah itu mudah bagiku? Tidak.

Bagaimana mau istiqomah jika hijrah saja sudah terasa berat? Ah, sulit dijelaskan. Ada perasaan aneh yang aku rasa selama beberapa bulan “berhijrah pakaian”. Selain diriku yang belum stabil, ditambah lagi dengan lingkungan yang memandang sinis. Tak sanggup menerka isi hati dan pikiran orang lain, tapi mungkin di mata mereka aku terlihat aneh atau sok alim? Huft, beraaattt sekali, sungguh, kala itu.

Tahun 2014 fenomena hijrah belum se-hits sekarang. Aku sempat merasa asing sekali hingga tak jarang air mataku harus tumpah berkali-kali seraya aku bertanya ke dalam diri, apakah sudah benar jalan yang aku ambil?

Rupanya, Allah memang Maha Adil. Aku memang dipertemukan dengan orang-orang sinis, tapi pada akhirnya aku juga dikenalkan dengan orang-orang baik hati nan peduli. Mereka yang melirik upaya hijrahku dengan baik hati, mereka hadir agar kokohlah hatiku ini. Tak dapat dipungkiri, teman sejati, pendengar yang baik, penasihat yang ulung memang diperlukan sekali dalam proses berhijrah.

Ohya, aku sering dengar ungkapan bahwa cinta itu bisa hadir karena terbiasa. Ternyata betul juga ya, hihihi..

Satu, dua, tiga tahun berlalu begitu cepat. Aku baru berusaha menjaga pakaianku saja, sudah merasa amat susah payah. Tapi karena terbiasa, lama-lama hatiku mulai merasa nyaman dan mulai acuh dengan apa kata orang. Aku percaya dengan diriku sendiri, aku memiliki tujuan yang harus aku capai. Aku mulai belajar mencintai diriku sendiri dengan segala pilihan yang telah aku ambil.

Ketika awal berhijrah pakaian, aku hanya fokus pada apa kata orang akan penampilanku. Tapi, semenjak cinta pada diriku mulai tumbuh, ternyata aku tidak lagi menaruh titik fokus pada penampilan, melainkan pada apa yang harus aku lakukan, pada karya yang harus aku buat, pada orang-orang yang harusnya sanggup aku bahagiakan.

Allah yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Aku tidak tahu akan seperti apa diriku kelak. Namun, satu hal yang wajib aku syukuri hingga detik ini adalah, bahwa Allah masih menguatkan hatiku untuk tidak kembali pada cara berpakaian yang tidak seharusnya. Allah masih meneguhkan hatiku, Dia terus menghadirkan orang-orang yang mendukungku dan di luar dugaanku.

Yang istimewa adalah, aku tidak pernah mengkritik pakaian orang lain ataupun mengajak orang lain untuk berpakaian sepertiku. Namun, tanpa aku sadari banyak wanita yang telah aku kenal justru secara terang-terangan ingin berpakaian lebih tertutup setelah mengenalku. Aku sering bertanya, kenapa? Dan mereka hanya menjawab, kamu telah membuktikan bahwa pakaian tidak menghalangi seorang wanita untuk berkarya. That’s all. Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Yakni, jadilah seorang role model yang membuat orang lain ingin meniru tanpa kita harus berbicara. Biarkan karya kita yang akan berbicara.

Terakhir, sejak awal tulisan ini aku sudah katakan bahwa bagiku proses berhijrah itu berat. Itu memang yang aku rasakan. Bukan hanya istiqomahnya, melainkan langkah untuk memutuskan hijrah saja sudah berat. Tapi, meski berat bukan berarti kita jadi punya alasan untuk menunda. Meski berat, terjanglah. Mungkin di awal akan terasa aneh, sakit, sedih, dan lain-lain. Tapi satu hal yang pasti, jangan menundanya, sebab kematian tidak akan pernah meminta izin dulu kepada kita untuk hadir, apalagi meminta kita untuk berubah menjadi baik dulu, tidak. Kematian hadir dengan cepat, tak akan pernah kita sangka.

Sampai sini dulu yaa.

Apakah perlu ada kelanjutannya? Atau benar-benar harus kutuliskan menjadi buku? Hihi ^^

Posting Komentar

  1. Benar bangetttt kak, aku juga mengalami sampai dikata terroris, ninja dsb, walaupun bibir tersenyum namun diam-diam menangis, di sisi lain pun dipertemukan sama orang-orang yang mendukung Dan menasehati bahwa hal seperti itu salah satu ujian Allah apakah kita sanggup bersabar atau justru kembali Dan dari situ Allah Manilai bahwa sungguh-sungguh gak hijrah kita ya walaupun Allah sudah tau tapi kita jg bisa menilai diri sendiri lolos ujian gak sih kita, sungguh-sungguh gak sih kita 😃😃 hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa betul, semangat selalu yaa Suyy, surround yourself with a good people. Semoga kita istiqomah, aamiinn ^^

      Hapus

 
Top